Post by rajah on Apr 21, 2007 18:55:27 GMT 7
Tulisan ini saya buat sekadar sebagai bahan brainstorming untuk masalah pendinginan udara pada budi daya Nepenthes dataran tinggi. Seperti kita ketahui, Pak Suska dan beberapa anggota KTKI sedang berusaha mengkuljarkan beberapa jenis Nepenthes dataran tinggi, yang nantinya menginginkan perbedaan yang besar antara suhu malam dan suhu siang. Di habitatnya, Nepenthes2 tersebut hidup di alam yang suhu udaranya bervariasi (bergantung jenis) antara 10-20 C di malam hari dan 25-30 C di siang hari.
Selama ini teknik yang banyak diusulkan adalah menggunakan kulkas. Memang cara ini efektif, tapi relatif mahal. Karena itu saya mencari alternatif teknologi yang lebih murah untuk mendinginkan udara, dan salah satu yang saya temukan akan saya uraikan di bawah ini.
Ini adalah teknik pendinginan yang sudah tua sekali, sudah dikenal sejak zaman kerajaan Persia (Iran). Di Nigeria dan negara-negara Afrika beriklim kering yang belum dimasuki listrik, teknik ini masih populer hingga kini.
Prinsipnya sederhana dan murah (tanpa listrik) dan efektif terutama untuk daerah beriklim kering. Di Indonesia pernah dipakai di desa-desa pada zaman penjajahan, tapi sekarang sudah menghilang sejak listrik masuk desa.
Sistem ini terdiri dari dua buah wadah yang terbuat dari tanah liat yang tidak berglazur. Kenapa demikian, sebab pot tanah liat non-glazur mempunyai pori-pori di permukaannya. Pot yang satu berdiameter sedikit lebih kecil daripada pot lainnya. Pot berdiameter kecil ini dimasukkan ke dalam pot yang lebih besar sehingga terdapat celah di antara keduanya. Celah ini diisi rapat dengan pasir halus basah yang dijaga agar tetap basah dengan penyiraman air dua kali sehari. Selanjutnya barang yang akan didinginkan kita masukkan ke dalam pot kecil tadi dan bagian atas kedua pot ditutup dengan selembar kain lembab untuk menjaga supaya panas tidak masuk ke bagian dalam pot.
Apa yang akan terjadi? Panas dari luar akan membuat air dalam pasir menguap dan mengalir ke luar melalui pori-pori pot besar dan bersirkulasi dengan udara kering di sekitarnya. Sesuai hukum termodinamika, akibat dari penguapan tersebut, air yang menguap tadi membawa panas dari dalam ke luar sehingga terjadi penurunan suhu di bagian dalam, yaitu di pot kecil. Bergantung pada kondisi iklim (kelembaban dan suhu) saat itu, penurunan suhu dalam pot bisa mencapai 15 derajat Celcius. Prinsip ini disebut dengan evaporative cooling (pendinginan penguapan), sama halnya dengan penguapan keringat melalui pori-pori badan kita, yang sebenarnya merupakan cara tubuh kita untuk menurunkan suhu badan. Contoh lain adalah badan kita terasa dingin waktu memakai pakaian basah, dan teknik kompres menggunakan lap basah untuk menurunkan panas tubuh orang yang sakit demam.
Dengan metode pot-in-pot (PIP) ini suhu dalam pot bisa mencapai 15 derajat C dan sayur-sayuran akan bertahan segar lebih lama. Sebagai ilustrasi di Nigeria, tomat bisa bertahan sampai 3 minggu, terong bisa sampai 27 hari dst. Di samping itu pertumbuhan jamur akan terhambat.
Nah, dari fakta tsb, saya berpikir apakah mungkin teknik ini bisa digunakan untuk menurunkan suhu udara malam hari di dataran rendah Indonesia yang lembab? Saya kira mungkin, terutama pada musim kemarau yang kering. Beberapa daerah seperti Malang dan Surabaya juga relatif lebih kering daripada Bogor, misalnya.
Yang harus digarisbawahi dari teknik ini adalah pendinginan akan lebih efektif jika lingkungan sekitar kering, terlebih lagi dengan aliran udara yang baik dan angin yang banyak.
Di sisi lain, metode ini mungkin baik digunakan sebagai perlakuan cold stratification untuk memicu perkecambahan benih tanaman karnivora yang berasal dari daerah dingin, seperti Sarracenia dll.
Gambar dipinjam dari situs web:
www.treehugger.com/files/2006/08/mohammed_bah_ab.php
Selama ini teknik yang banyak diusulkan adalah menggunakan kulkas. Memang cara ini efektif, tapi relatif mahal. Karena itu saya mencari alternatif teknologi yang lebih murah untuk mendinginkan udara, dan salah satu yang saya temukan akan saya uraikan di bawah ini.
Ini adalah teknik pendinginan yang sudah tua sekali, sudah dikenal sejak zaman kerajaan Persia (Iran). Di Nigeria dan negara-negara Afrika beriklim kering yang belum dimasuki listrik, teknik ini masih populer hingga kini.
Prinsipnya sederhana dan murah (tanpa listrik) dan efektif terutama untuk daerah beriklim kering. Di Indonesia pernah dipakai di desa-desa pada zaman penjajahan, tapi sekarang sudah menghilang sejak listrik masuk desa.
Sistem ini terdiri dari dua buah wadah yang terbuat dari tanah liat yang tidak berglazur. Kenapa demikian, sebab pot tanah liat non-glazur mempunyai pori-pori di permukaannya. Pot yang satu berdiameter sedikit lebih kecil daripada pot lainnya. Pot berdiameter kecil ini dimasukkan ke dalam pot yang lebih besar sehingga terdapat celah di antara keduanya. Celah ini diisi rapat dengan pasir halus basah yang dijaga agar tetap basah dengan penyiraman air dua kali sehari. Selanjutnya barang yang akan didinginkan kita masukkan ke dalam pot kecil tadi dan bagian atas kedua pot ditutup dengan selembar kain lembab untuk menjaga supaya panas tidak masuk ke bagian dalam pot.
Apa yang akan terjadi? Panas dari luar akan membuat air dalam pasir menguap dan mengalir ke luar melalui pori-pori pot besar dan bersirkulasi dengan udara kering di sekitarnya. Sesuai hukum termodinamika, akibat dari penguapan tersebut, air yang menguap tadi membawa panas dari dalam ke luar sehingga terjadi penurunan suhu di bagian dalam, yaitu di pot kecil. Bergantung pada kondisi iklim (kelembaban dan suhu) saat itu, penurunan suhu dalam pot bisa mencapai 15 derajat Celcius. Prinsip ini disebut dengan evaporative cooling (pendinginan penguapan), sama halnya dengan penguapan keringat melalui pori-pori badan kita, yang sebenarnya merupakan cara tubuh kita untuk menurunkan suhu badan. Contoh lain adalah badan kita terasa dingin waktu memakai pakaian basah, dan teknik kompres menggunakan lap basah untuk menurunkan panas tubuh orang yang sakit demam.
Dengan metode pot-in-pot (PIP) ini suhu dalam pot bisa mencapai 15 derajat C dan sayur-sayuran akan bertahan segar lebih lama. Sebagai ilustrasi di Nigeria, tomat bisa bertahan sampai 3 minggu, terong bisa sampai 27 hari dst. Di samping itu pertumbuhan jamur akan terhambat.
Nah, dari fakta tsb, saya berpikir apakah mungkin teknik ini bisa digunakan untuk menurunkan suhu udara malam hari di dataran rendah Indonesia yang lembab? Saya kira mungkin, terutama pada musim kemarau yang kering. Beberapa daerah seperti Malang dan Surabaya juga relatif lebih kering daripada Bogor, misalnya.
Yang harus digarisbawahi dari teknik ini adalah pendinginan akan lebih efektif jika lingkungan sekitar kering, terlebih lagi dengan aliran udara yang baik dan angin yang banyak.
Di sisi lain, metode ini mungkin baik digunakan sebagai perlakuan cold stratification untuk memicu perkecambahan benih tanaman karnivora yang berasal dari daerah dingin, seperti Sarracenia dll.
Gambar dipinjam dari situs web:
www.treehugger.com/files/2006/08/mohammed_bah_ab.php