Post by Jax Sprout on Jan 10, 2007 15:41:06 GMT 7
Suhu Suska mejeng di kolom SOSOK, berikut cuplikannya:
Namun ada beberapa bagian yang perlu di koreksi, dibawah ini langsung dari Suhu Suska sendiri:
Adapun soal artikel di kompas, ada beberapa hal yang perlu diluruskan, terutama mengenai DIVISI NEPENTHES INDONESIA.
Untuk menghindari salah pengertian, berikut beberapa ralat/klarifikasi saya mengenai artikel tersebut.
Tulisan asli = ditulis miring, ralat/klarifikasi = (***********dalam kurung dan dicetak tebal warna pink)
Mohon maaf buat DIVNEP, jika kurang berkenan.
Artikelnya :
Senin, 08 Januari 2007
Suska, Menyelamatkan Nepenthes
M Clara Wresti
Sikap bangsa Indonesia yang kurang peduli terhadap apa
yang dimiliki, dan sikap pemerintah yang tak kalah
kurang pedulinya, menjadi keprihatinan Mohammad Apriza
Suska (32). Pemuda yang murah senyum ini sangat sedih
dan malu terhadap nasib yang menimpa kantong semar
atau Nepenthes spp yang merupakan tanaman asli
Indonesia.
Jika sudah bicara soal tumbuhan pemakan serangga ini,
Suska tidak akan berhenti. Topik yang dibicarakan dari
soal budi daya tanaman eksotis ini hingga bagaimana
menyelamatkan nepenthes yang banyak musnah karena
pembangunan. "Dulu di Bekasi dan Bidaracina, Cawang,
banyak sekali ditemukan nepenthes, tetapi sekarang
sudah tidak ada lagi. Nepenthes tergusur oleh
pembangunan rumah-rumah warga," cerita Suska.
Banyaknya nepenthes yang musnah itu d**etahui Suska
dari literatur-literatur peninggalan Belanda dan napak
tilas yang dilakukan Suska untuk mencari nepenthes.
Bersama kelompoknya, Divisi Nepenthes Indonesia, sudah
berbagai gunung dia rambah baik di Jawa, Sumatera,
maupun di Kalimantan.
(************ dengan DIVNEP saya baru ke semeru, telomoyo, gunung slamet dan gunung salak, belium ke tempat lain. Aktivitas saya bersama DIVNEP, untuk program pelatihan, seminar, dll, baru dilakukan di Malang, Baturaden, dan Bogor. Ini juga untuk klarifikasi kegiatan saya yang lain yg ditulis di bawah, berhubungan dengan DIVNEP)
Terakhir, sekitar Mei-Juni, dia
mendaki Gunung Slamet di Jawa Tengah. Di sana Suska
mengajarkan penduduk untuk berbudi daya nepenthes.
"Ada dua spesies nepenthes di sana, yakni gymnamphora
dan adrianii. Keduanya diambil oleh penduduk lalu
dijual ke pedagang. Yang paling banyak diambil adalah
Nepenthes adrianii. Jika diambil terus tanpa
dibudidayakan, lama-lama nepenthes di sana punah.
Nepenthes sudah menjadi salah satu tanaman yang
dilindungi pemerintah," kata Suska.
Menguntungkan pedagang
Divisi Nepenthes Indonesia melihat pengambilan
nepenthes dari alam hanya menguntungkan pedagang,
tetapi merugikan alam, penduduk, dan juga tumbuhan itu
sendiri. Penduduk hanya menjual nepenthes dengan harga
Rp 2.500-Rp 5.000 ke pedagang, sedangkan pedagang
menjual ke konsumen hingga ratusan ribu rupiah.
Penduduk sama sekali tidak diuntungkan. Karena sering
diambil, lama kelamaan nepenthes punah.
(************Ini hasil survey di daerah batu raden saat DIVNEP membuat acara di sana)
Selain itu, nepenthes yang diambil dari alam lalu
ditanam di pot dalam waktu dua bulan akan mati karena
stres. Konsumen yang telah membeli nepenthes itu
akhirnya kapok karena sudah membeli dengan harga
mahal, tetapi tanaman mati. Akhirnya muncul pendapat,
tidak mudah menanam nepenthes.
"Pendapat ini yang ingin saya hilangkan. Nepenthes itu
mudah ditanam jika bibitnya diambil dari budi daya.
Harganya pun tidak mahal, tidak sampai seratus ribu
rupiah, bahkan ada nepenthes yang saya jual dengan
harga Rp 5.000.
(************ ini program nepenthes for everyone, sekarang baru N. gracilis & mirabilis, maaf saya tidak jual segitu di pameran, takut dimusuhin pedagang lain, kalo dirumah sering saya kasih gratisan. Untuk harga tanaman impor masih cenderung mahal, karena harga belinya yg tinggi plus biaya2. mudah-mudahan setelah bisa diperbanyak disini harganya semakin murah)
Jika banyak orang menanam nepenthes,
maka tanaman ini makin d i kenal dan Indonesia tidak
akan kehilangan kekayaan alamnya. Orang tidak mau lagi
membeli nepenthes dari alam," ujar sarjana lulusan
Institut Pertanian Bogor ini.
Selain itu, Suska juga terlibat dalam penyelamatan
nepenthes di daerah-daerah yang sedang giat-giatnya
melakukan pembangunan. "Pemerintah sering menerapkan
standar ganda. Di satu sisi pemerintah melarang keras
pengambilan nepenthes dari alam, tetapi jika membawa
bendera pembangunan, pemerintah tidak marah
nepenthes-nepenthes mati karena habitatnya rusak oleh
pembangunan, " ujarnya.
Suska sekarang sedang merawat nepenthes-nepenthes
korban pembangunan sebuah gelanggang olahraga di
Penajam, Kalimantan Timur, dan pembakaran hutan di
Kutai, Kalimantan Timur. Saat ini Suska dan Divisi
Nepenthes Indonesia sedang bersiap-siap menyelamatkan
nepenthes yang akan tergerus proyek pelurusan jalan
Kelok 9, Sumatera Barat.
(************ ini masih wacana saya dan beberapa rekan, jadi belum jadi program saya dan DIVNEP)
Merasa malu
Ketertarikan Suska akan nepenthes ini juga berawal
dari rasa malu. Ketika awal 2003 dia mendapat
kesempatan untuk magang di rumah kaca terbesar di Ohio
State University, Amerika Serikat, dia bertemu dengan
Lawrence Mellichamp yang memiliki sebuah rumah kaca
yang berisi nepenthes. Mellichamp bilang, nepenthes
ini berasal dari Indonesia,
(************Saya magang di www.metrolinagreenhouses.com, NC, melalui programnya Ohio
State University, Ketemu Lawrence Mellichamp di UNCC botanical garden)
dan Suska diminta untuk
menceritakan keberadaan nepenthes di Indonesia.
"Saya malu karena tidak ada sedikit pun yang bisa saya
ceritakan. Saya tidak kenal tanaman itu. Pulang ke
Indonesia, saya membawa pulang 12 macam nepenthes dan
bertekad untuk mendalaminya, " ujar Suska yang
sehari-hari menjadi petani tanaman hias ini.
Sekarang, di rumahnya di Kampung Ciderum, Desa
Ciderum, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, penuh
dengan nepenthes berbagai spesies. "Saya punya 84
spesies dan masih ada lagi yang belum terdeteksi
spesiesnya. Tetapi, kalau digabungkan dengan varietas
dan hibrida, kira-kira jumlahnya ada 200 macam,"
ungkap Suska.
Di samping rumah, Suska membuat rumah kaca sederhana
yang di dalamnya berisi ribuan nepenthes ukuran kecil
dan besar, sedangkan di halaman rumah banyak nepenthes
besar tumbuh liar menjalar-jalar di pagar, di pohon,
dan di tembok.
"Nepenthes sebenarnya tidak mau rumah kaca karena
panas. Rumah kaca ini dulu saya gunakan untuk menanam
bunga krisan. Ketika saya mulai tertarik nepenthes,
bisnis krisan saya juga turun. Akhirnya rumah kaca itu
saya manfaatkan untuk nepenthes," tuturnya.
Berbagai macam nepenthes itu ada yang dijual, tetapi
ada juga yang tidak dijualnya. Biasanya Suska hanya
mau menjual nepenthes di pameran tanaman karena dia
belum sempat memisahkan mana nepenthes yang bisa
dijual dan mana yang masih harus di kembangkan lebih
lanjut.
(Hehehehehe……….. sorry ya!)
Dikoreksi oleh: ma_suska via e-mail milis
Namun ada beberapa bagian yang perlu di koreksi, dibawah ini langsung dari Suhu Suska sendiri:
Adapun soal artikel di kompas, ada beberapa hal yang perlu diluruskan, terutama mengenai DIVISI NEPENTHES INDONESIA.
Untuk menghindari salah pengertian, berikut beberapa ralat/klarifikasi saya mengenai artikel tersebut.
Tulisan asli = ditulis miring, ralat/klarifikasi = (***********dalam kurung dan dicetak tebal warna pink)
Mohon maaf buat DIVNEP, jika kurang berkenan.
Artikelnya :
Senin, 08 Januari 2007
Suska, Menyelamatkan Nepenthes
M Clara Wresti
Sikap bangsa Indonesia yang kurang peduli terhadap apa
yang dimiliki, dan sikap pemerintah yang tak kalah
kurang pedulinya, menjadi keprihatinan Mohammad Apriza
Suska (32). Pemuda yang murah senyum ini sangat sedih
dan malu terhadap nasib yang menimpa kantong semar
atau Nepenthes spp yang merupakan tanaman asli
Indonesia.
Jika sudah bicara soal tumbuhan pemakan serangga ini,
Suska tidak akan berhenti. Topik yang dibicarakan dari
soal budi daya tanaman eksotis ini hingga bagaimana
menyelamatkan nepenthes yang banyak musnah karena
pembangunan. "Dulu di Bekasi dan Bidaracina, Cawang,
banyak sekali ditemukan nepenthes, tetapi sekarang
sudah tidak ada lagi. Nepenthes tergusur oleh
pembangunan rumah-rumah warga," cerita Suska.
Banyaknya nepenthes yang musnah itu d**etahui Suska
dari literatur-literatur peninggalan Belanda dan napak
tilas yang dilakukan Suska untuk mencari nepenthes.
Bersama kelompoknya, Divisi Nepenthes Indonesia, sudah
berbagai gunung dia rambah baik di Jawa, Sumatera,
maupun di Kalimantan.
(************ dengan DIVNEP saya baru ke semeru, telomoyo, gunung slamet dan gunung salak, belium ke tempat lain. Aktivitas saya bersama DIVNEP, untuk program pelatihan, seminar, dll, baru dilakukan di Malang, Baturaden, dan Bogor. Ini juga untuk klarifikasi kegiatan saya yang lain yg ditulis di bawah, berhubungan dengan DIVNEP)
Terakhir, sekitar Mei-Juni, dia
mendaki Gunung Slamet di Jawa Tengah. Di sana Suska
mengajarkan penduduk untuk berbudi daya nepenthes.
"Ada dua spesies nepenthes di sana, yakni gymnamphora
dan adrianii. Keduanya diambil oleh penduduk lalu
dijual ke pedagang. Yang paling banyak diambil adalah
Nepenthes adrianii. Jika diambil terus tanpa
dibudidayakan, lama-lama nepenthes di sana punah.
Nepenthes sudah menjadi salah satu tanaman yang
dilindungi pemerintah," kata Suska.
Menguntungkan pedagang
Divisi Nepenthes Indonesia melihat pengambilan
nepenthes dari alam hanya menguntungkan pedagang,
tetapi merugikan alam, penduduk, dan juga tumbuhan itu
sendiri. Penduduk hanya menjual nepenthes dengan harga
Rp 2.500-Rp 5.000 ke pedagang, sedangkan pedagang
menjual ke konsumen hingga ratusan ribu rupiah.
Penduduk sama sekali tidak diuntungkan. Karena sering
diambil, lama kelamaan nepenthes punah.
(************Ini hasil survey di daerah batu raden saat DIVNEP membuat acara di sana)
Selain itu, nepenthes yang diambil dari alam lalu
ditanam di pot dalam waktu dua bulan akan mati karena
stres. Konsumen yang telah membeli nepenthes itu
akhirnya kapok karena sudah membeli dengan harga
mahal, tetapi tanaman mati. Akhirnya muncul pendapat,
tidak mudah menanam nepenthes.
"Pendapat ini yang ingin saya hilangkan. Nepenthes itu
mudah ditanam jika bibitnya diambil dari budi daya.
Harganya pun tidak mahal, tidak sampai seratus ribu
rupiah, bahkan ada nepenthes yang saya jual dengan
harga Rp 5.000.
(************ ini program nepenthes for everyone, sekarang baru N. gracilis & mirabilis, maaf saya tidak jual segitu di pameran, takut dimusuhin pedagang lain, kalo dirumah sering saya kasih gratisan. Untuk harga tanaman impor masih cenderung mahal, karena harga belinya yg tinggi plus biaya2. mudah-mudahan setelah bisa diperbanyak disini harganya semakin murah)
Jika banyak orang menanam nepenthes,
maka tanaman ini makin d i kenal dan Indonesia tidak
akan kehilangan kekayaan alamnya. Orang tidak mau lagi
membeli nepenthes dari alam," ujar sarjana lulusan
Institut Pertanian Bogor ini.
Selain itu, Suska juga terlibat dalam penyelamatan
nepenthes di daerah-daerah yang sedang giat-giatnya
melakukan pembangunan. "Pemerintah sering menerapkan
standar ganda. Di satu sisi pemerintah melarang keras
pengambilan nepenthes dari alam, tetapi jika membawa
bendera pembangunan, pemerintah tidak marah
nepenthes-nepenthes mati karena habitatnya rusak oleh
pembangunan, " ujarnya.
Suska sekarang sedang merawat nepenthes-nepenthes
korban pembangunan sebuah gelanggang olahraga di
Penajam, Kalimantan Timur, dan pembakaran hutan di
Kutai, Kalimantan Timur. Saat ini Suska dan Divisi
Nepenthes Indonesia sedang bersiap-siap menyelamatkan
nepenthes yang akan tergerus proyek pelurusan jalan
Kelok 9, Sumatera Barat.
(************ ini masih wacana saya dan beberapa rekan, jadi belum jadi program saya dan DIVNEP)
Merasa malu
Ketertarikan Suska akan nepenthes ini juga berawal
dari rasa malu. Ketika awal 2003 dia mendapat
kesempatan untuk magang di rumah kaca terbesar di Ohio
State University, Amerika Serikat, dia bertemu dengan
Lawrence Mellichamp yang memiliki sebuah rumah kaca
yang berisi nepenthes. Mellichamp bilang, nepenthes
ini berasal dari Indonesia,
(************Saya magang di www.metrolinagreenhouses.com, NC, melalui programnya Ohio
State University, Ketemu Lawrence Mellichamp di UNCC botanical garden)
dan Suska diminta untuk
menceritakan keberadaan nepenthes di Indonesia.
"Saya malu karena tidak ada sedikit pun yang bisa saya
ceritakan. Saya tidak kenal tanaman itu. Pulang ke
Indonesia, saya membawa pulang 12 macam nepenthes dan
bertekad untuk mendalaminya, " ujar Suska yang
sehari-hari menjadi petani tanaman hias ini.
Sekarang, di rumahnya di Kampung Ciderum, Desa
Ciderum, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, penuh
dengan nepenthes berbagai spesies. "Saya punya 84
spesies dan masih ada lagi yang belum terdeteksi
spesiesnya. Tetapi, kalau digabungkan dengan varietas
dan hibrida, kira-kira jumlahnya ada 200 macam,"
ungkap Suska.
Di samping rumah, Suska membuat rumah kaca sederhana
yang di dalamnya berisi ribuan nepenthes ukuran kecil
dan besar, sedangkan di halaman rumah banyak nepenthes
besar tumbuh liar menjalar-jalar di pagar, di pohon,
dan di tembok.
"Nepenthes sebenarnya tidak mau rumah kaca karena
panas. Rumah kaca ini dulu saya gunakan untuk menanam
bunga krisan. Ketika saya mulai tertarik nepenthes,
bisnis krisan saya juga turun. Akhirnya rumah kaca itu
saya manfaatkan untuk nepenthes," tuturnya.
Berbagai macam nepenthes itu ada yang dijual, tetapi
ada juga yang tidak dijualnya. Biasanya Suska hanya
mau menjual nepenthes di pameran tanaman karena dia
belum sempat memisahkan mana nepenthes yang bisa
dijual dan mana yang masih harus di kembangkan lebih
lanjut.
(Hehehehehe……….. sorry ya!)
Dikoreksi oleh: ma_suska via e-mail milis