Post by rajah on Aug 24, 2007 22:26:48 GMT 7
Sumber: www.korantempo.com
Jum’at, 24 Agustus 2007
Tim Konservasi EWIN 2007 menemukan tiga tumbuhan di Waigeo yang diduga spesies baru.
JAKARTA - Sudah dua hari iring-iringan sembilan peneliti dan teknisi dari Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, ditambah 19 orang porter dan penunjuk jalan, meninggalkan Desa Waifoi, kampung terdekat. Tujuan mereka adalah Gunung Nok di pedalaman Pulau Waigeo, Kepulauan Raja Ampat, Papua.
Gunung yang jarang diinjak ilmuwan itu menyimpan koleksi tumbuhan yang belum pernah diteliti secara menyeluruh. Walaupun tak sampai 1.000 meter, gunung itu amat terjal.
Tim peneliti yang dipimpin Didik Widyatmoko dari Kebun Raya Bogor tersebut adalah bagian dari Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN) 2007 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Selama 11 Juni sampai 9 Juli 2007, mereka melakukan survei dan mengumpulkan koleksi tumbuhan gunung yang juga dikenal sebagai Mt. Buffelhorn atau "tanduk kerbau" serta menyambangi Taman Wisata Alam Sorong, Papua.
Ternyata, bukan cuma memperoleh koleksi tumbuhan yang belum ada di kebun raya, tim itu juga mendapat "hadiah" tiga jenis tumbuhan yang diduga spesies baru. Salah satunya adalah tumbuhan dari genus Cyrtosperma. "Dua lainnya masih harus diteliti lagi," kata Didik Widyatmoko, Ketua Tim Konservasi EWIN. "Kami harus mengecek semua herbarium dan publikasi serta menulis bahasa Latinnya dulu sebelum mempublikasikannya sebagai jenis baru."
Meski sekadar mengumpulkan tumbuhan, tugas itu tidaklah mudah. Tak cuma harus menempuh hutan yang rapat, mereka juga harus sedikit mendaki Gunung Nok yang terjal. Mabuk laut juga harus mereka rasakan karena ombak di Kepulauan Raja Ampat lumayan besar. "Kalau sudah Agustus, tak ada long boat kecil yang berani melintasi rute Waigeo-Sorong," kata Didik.
Lazimnya perjalanan ke hutan, yang juga dihuni berbagai jenis serangga dan binatang kecil lainnya, anggota tim mau tak mau berkenalan dengan mereka. Selama 14 hari berkemah di punggung Gunung Nok, tim itu diserang kutu air. "Belum pernah separah itu. Kutu airnya sangat ganas," kata penggemar palem-paleman itu. "Gatalnya baru hilang setelah dua minggu kami pulang ke rumah. Masih ada bekasnya, bagian perut ke bawah paling parah."
Walaupun tidur tak nyenyak karena gatal, Didik bersyukur tak satu pun anggota timnya yang terkena malaria. Segala cobaan itu memang tak sebanding dengan "harta" yang diperolehnya di pedalaman Waigeo dan Sorong.
Selain tiga jenis tumbuhan itu, terkumpul 554 koleksi tumbuhan dari dua kawasan konservasi. Lima spesies, di antaranya, adalah flora endemis Pulau Waigeo. Tumbuhan yang hanya bisa ditemukan di pulau terbesar dari Kepulauan Raja Ampat itu adalah Guioa waigeoensis, Alstonia beatricis, Calophyllum parviflorum, Schefflera apiculata, dan Nepenthes danseri.
Tim juga mencatat 42 jenis flora itu endemis untuk Papua, sedangkan 72 spesies dinyatakan sebagai koleksi baru bagi Kebun Raya Indonesia. "Tim juga mengoleksi spesimen hidup dari jenis palem baru, Livistona brevifolia, yang dideskripsikan oleh Dowe dan Mogea pada 2004," kata Hery Harjono, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI, dalam jumpa pers pekan lalu.
Berbagai tanaman bernilai ekonomi tinggi juga diperoleh. Dari Sommieria leucophylla, sejenis palem yang anakannya saja sudah bernilai Rp 1 juta, sampai palem hias Orania regalis dan Hydriastele costata. Berbagai jenis anggrek, seperti Dendobium macrophyllum, serta tanaman hias Tapeinocheilos ananassae dan Maniltoa rosea.
Sebanyak 16 boks karton berisi koleksi tumbuhan dan spesimen kering dikirimkan ke Kebun Raya Bogor. Di antaranya terdapat 72 spesies hidup berupa biji dan semaian di bawah 1 meter. "Kalau lebih besar dari 1 meter susah bawanya," kata Didik.
Tujuan ekspedisi Kebun Raya Indonesia itu memang mengumpulkan spesies tumbuhan yang bernilai konservasi tinggi, misalnya terancam punah, endemis, dan ekotipe--varian yang tak sama dengan spesies yang sudah dikenal karena beradaptasi secara lokal di lingkungannya.
Tim juga harus menentukan status populasi dari spesies endemis dan terancam punah serta mendeskripsikan karakteristik habitatnya. Ini penting untuk mengetahui pilihan ekologinya untuk keperluan konservasi ex-situ saat menanam jenis itu di luar habitat aslinya.
Informasi ini digunakan untuk menanam kembali tumbuhan tersebut di empat kebun raya, yang merepresentasikan dataran rendah dan tinggi di Indonesia. Kebun Raya Bogor, misalnya, mewakili dataran rendah relatif basah dengan ketinggian 240-260 meter.
Tumbuhan dataran tinggi basah ditanam di Kebun Raya Cibodas, sedangkan flora dari dataran rendah kering ditempatkan di Kebun Raya Purwodadi di Pasuruan. Khusus tumbuhan dataran tinggi antara basah dan kering (lembap) di Kebun Raya Bedugul, Bali. "Pengalaman kami selama ini, sebagian flora dari Sabang sampai Merauke yang kami kumpulkan bisa hidup," kata Didik.
Itulah sebabnya mengapa tim ekspedisi ini beranggotakan ilmuwan dan teknisi dari empat kebun raya di Indonesia. Lima orang dari Kebun Raya Bogor, yaitu Didit Okta Pribadi, Wihermanto, Saripudin, Sudarsono, dan Supardi. Sisanya dari tiga kebun raya lainnya, yaitu Rustandi (Kebun Raya Cibodas), Deden Mudiana (Kebun Raya Purwodadi), dan I Gede Tirta (Kebun Raya Bedugul).
Rencananya, tahun depan mereka akan kembali ke Kepulauan Raja Ampat. "Tapi di pulau lainnya, entah Batampa, Salawati, atau Misool. Karena informasi flora endemis, langka, dan ekotipe di sana masih sangat sedikit," kata Didik.
Didik optimistis rencana itu bisa berjalan meski anggaran untuk eksplorasi kebun raya tinggal 30 persen, terpangkas pemotongan anggaran yang dilakukan pemerintah, meski untuk itu 15 ekspedisi yang telah dirancang harus diciutkan menjadi tiga atau empat kali saja. "Hal itu jelas membatasi gerak kami dalam menyelamatkan flora terancam punah dan langka," kata Didik. "Ekspedisi semacam ini disamakan dengan perjalanan dinas departemen lain untuk rapat koordinasi di kota lain, padahal jelas berbeda."
tjandra dewi
Jum’at, 24 Agustus 2007
Tim Konservasi EWIN 2007 menemukan tiga tumbuhan di Waigeo yang diduga spesies baru.
JAKARTA - Sudah dua hari iring-iringan sembilan peneliti dan teknisi dari Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, ditambah 19 orang porter dan penunjuk jalan, meninggalkan Desa Waifoi, kampung terdekat. Tujuan mereka adalah Gunung Nok di pedalaman Pulau Waigeo, Kepulauan Raja Ampat, Papua.
Gunung yang jarang diinjak ilmuwan itu menyimpan koleksi tumbuhan yang belum pernah diteliti secara menyeluruh. Walaupun tak sampai 1.000 meter, gunung itu amat terjal.
Tim peneliti yang dipimpin Didik Widyatmoko dari Kebun Raya Bogor tersebut adalah bagian dari Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN) 2007 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Selama 11 Juni sampai 9 Juli 2007, mereka melakukan survei dan mengumpulkan koleksi tumbuhan gunung yang juga dikenal sebagai Mt. Buffelhorn atau "tanduk kerbau" serta menyambangi Taman Wisata Alam Sorong, Papua.
Ternyata, bukan cuma memperoleh koleksi tumbuhan yang belum ada di kebun raya, tim itu juga mendapat "hadiah" tiga jenis tumbuhan yang diduga spesies baru. Salah satunya adalah tumbuhan dari genus Cyrtosperma. "Dua lainnya masih harus diteliti lagi," kata Didik Widyatmoko, Ketua Tim Konservasi EWIN. "Kami harus mengecek semua herbarium dan publikasi serta menulis bahasa Latinnya dulu sebelum mempublikasikannya sebagai jenis baru."
Meski sekadar mengumpulkan tumbuhan, tugas itu tidaklah mudah. Tak cuma harus menempuh hutan yang rapat, mereka juga harus sedikit mendaki Gunung Nok yang terjal. Mabuk laut juga harus mereka rasakan karena ombak di Kepulauan Raja Ampat lumayan besar. "Kalau sudah Agustus, tak ada long boat kecil yang berani melintasi rute Waigeo-Sorong," kata Didik.
Lazimnya perjalanan ke hutan, yang juga dihuni berbagai jenis serangga dan binatang kecil lainnya, anggota tim mau tak mau berkenalan dengan mereka. Selama 14 hari berkemah di punggung Gunung Nok, tim itu diserang kutu air. "Belum pernah separah itu. Kutu airnya sangat ganas," kata penggemar palem-paleman itu. "Gatalnya baru hilang setelah dua minggu kami pulang ke rumah. Masih ada bekasnya, bagian perut ke bawah paling parah."
Walaupun tidur tak nyenyak karena gatal, Didik bersyukur tak satu pun anggota timnya yang terkena malaria. Segala cobaan itu memang tak sebanding dengan "harta" yang diperolehnya di pedalaman Waigeo dan Sorong.
Selain tiga jenis tumbuhan itu, terkumpul 554 koleksi tumbuhan dari dua kawasan konservasi. Lima spesies, di antaranya, adalah flora endemis Pulau Waigeo. Tumbuhan yang hanya bisa ditemukan di pulau terbesar dari Kepulauan Raja Ampat itu adalah Guioa waigeoensis, Alstonia beatricis, Calophyllum parviflorum, Schefflera apiculata, dan Nepenthes danseri.
Tim juga mencatat 42 jenis flora itu endemis untuk Papua, sedangkan 72 spesies dinyatakan sebagai koleksi baru bagi Kebun Raya Indonesia. "Tim juga mengoleksi spesimen hidup dari jenis palem baru, Livistona brevifolia, yang dideskripsikan oleh Dowe dan Mogea pada 2004," kata Hery Harjono, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI, dalam jumpa pers pekan lalu.
Berbagai tanaman bernilai ekonomi tinggi juga diperoleh. Dari Sommieria leucophylla, sejenis palem yang anakannya saja sudah bernilai Rp 1 juta, sampai palem hias Orania regalis dan Hydriastele costata. Berbagai jenis anggrek, seperti Dendobium macrophyllum, serta tanaman hias Tapeinocheilos ananassae dan Maniltoa rosea.
Sebanyak 16 boks karton berisi koleksi tumbuhan dan spesimen kering dikirimkan ke Kebun Raya Bogor. Di antaranya terdapat 72 spesies hidup berupa biji dan semaian di bawah 1 meter. "Kalau lebih besar dari 1 meter susah bawanya," kata Didik.
Tujuan ekspedisi Kebun Raya Indonesia itu memang mengumpulkan spesies tumbuhan yang bernilai konservasi tinggi, misalnya terancam punah, endemis, dan ekotipe--varian yang tak sama dengan spesies yang sudah dikenal karena beradaptasi secara lokal di lingkungannya.
Tim juga harus menentukan status populasi dari spesies endemis dan terancam punah serta mendeskripsikan karakteristik habitatnya. Ini penting untuk mengetahui pilihan ekologinya untuk keperluan konservasi ex-situ saat menanam jenis itu di luar habitat aslinya.
Informasi ini digunakan untuk menanam kembali tumbuhan tersebut di empat kebun raya, yang merepresentasikan dataran rendah dan tinggi di Indonesia. Kebun Raya Bogor, misalnya, mewakili dataran rendah relatif basah dengan ketinggian 240-260 meter.
Tumbuhan dataran tinggi basah ditanam di Kebun Raya Cibodas, sedangkan flora dari dataran rendah kering ditempatkan di Kebun Raya Purwodadi di Pasuruan. Khusus tumbuhan dataran tinggi antara basah dan kering (lembap) di Kebun Raya Bedugul, Bali. "Pengalaman kami selama ini, sebagian flora dari Sabang sampai Merauke yang kami kumpulkan bisa hidup," kata Didik.
Itulah sebabnya mengapa tim ekspedisi ini beranggotakan ilmuwan dan teknisi dari empat kebun raya di Indonesia. Lima orang dari Kebun Raya Bogor, yaitu Didit Okta Pribadi, Wihermanto, Saripudin, Sudarsono, dan Supardi. Sisanya dari tiga kebun raya lainnya, yaitu Rustandi (Kebun Raya Cibodas), Deden Mudiana (Kebun Raya Purwodadi), dan I Gede Tirta (Kebun Raya Bedugul).
Rencananya, tahun depan mereka akan kembali ke Kepulauan Raja Ampat. "Tapi di pulau lainnya, entah Batampa, Salawati, atau Misool. Karena informasi flora endemis, langka, dan ekotipe di sana masih sangat sedikit," kata Didik.
Didik optimistis rencana itu bisa berjalan meski anggaran untuk eksplorasi kebun raya tinggal 30 persen, terpangkas pemotongan anggaran yang dilakukan pemerintah, meski untuk itu 15 ekspedisi yang telah dirancang harus diciutkan menjadi tiga atau empat kali saja. "Hal itu jelas membatasi gerak kami dalam menyelamatkan flora terancam punah dan langka," kata Didik. "Ekspedisi semacam ini disamakan dengan perjalanan dinas departemen lain untuk rapat koordinasi di kota lain, padahal jelas berbeda."
tjandra dewi