|
Post by riyadhzuhd on Jan 21, 2009 8:17:39 GMT 7
Wheleh... Makin mendalam lagi neh cerita tentang adatnya... Ntar ta' bikin pancingan deh biar makin seru pembahasannya... Tapi ntar dulu ah... Kerja dulu... he..he..he..
|
|
|
Post by riyadhzuhd on Jan 21, 2009 8:20:22 GMT 7
Kayaknya ini jd thread 'jawa dewasa' ;D Ha..ha..ha.. "Jawa Dewasa"... Nice symbol...
|
|
|
Post by pakde on Jan 21, 2009 8:32:42 GMT 7
cocok bener thread ini buat nguri-uri kabudayan adiluhung .... berkaitan dengan kelangenan kita akan kantong SEMAR, pakde akan mengutip beberapa kitab dan sumber mengenai keberadaan dan filosofi tokoh "SEMAR" ini dalam kebudayaan Jawa, begini kutipannya :
Para pencinta wayang kulit Jawa tentu tak asing lagi dengan tokoh Semar. Setiap pertunjukan tokoh ini selalu hadir. Semar dan anak-anaknya selalu menjadi pelayan atau pembantu kesatria yang baik, umumnya Arjuna atau anak Arjuna, penengah Pandawa. Semar adalah sebuah filsafat, baik etik maupun politik. Di balik tokoh hamba para kesatria ini, terdapat pola pikir yang mendasarinya.
Tokoh Semar juga disebut Ismaya, yang berasal dari Manik dan Maya. Manik itu Batara Guru, Maya itu Semar. Batara Guru menguasai kahiyangan para dewa dan manusia, sedangkan Semar menguasai bumi dan manusia. Manik dan Maya lahir dari sebuah wujud sejenis telur yang muncul bersama suara genta di tengah-tengah kekosongan mutlak (suwung-awang-uwung).
Telur itu pecah menjadi kenyataan fenomena, yakni langit dan bumi (ruang, kulit telur), gelap dan terang (waktu, putih telur), dan pelaku di dalam ruang dan waktu (kuning telur menjadi Dewa Manik dan Dewa Maya). Begitulah kisah Kitab Kejadian masyarakat Jawa.
Kenyataannya, ruang-waktu-pelaku itu selalu bersifat dua dan kembar. Langit di atas, bumi di bawah. Malam yang gelap, dan siang yang terang. Manik yang tampan dan kuning kulitnya, Semar (Ismaya) yang jelek rupanya dan hitam kulitnya. Paradoks pelaku semesta itu dapat dikembangkan lebih jauh dalam rangkaian paradoks-paradoks yang rumit.
Batara Guru itu mahadewa di dunia atas, Semar mahadewa di dunia bawah. Batara Guru penguasa kosmos (keteraturan) Batara Semar penguasa keos. Batara Guru penuh etiket sopan santun tingkat tinggi, Batara Semar sepenuhnya urakan.
Batara Guru simbol dari para penguasa dan raja-raja, Semar adalah simbol rakyat paling jelata. Batara Guru biasanya digambarkan sering tidak dapat mengendalikan nafsu-nafsunya, Semar justru sering mengendaikan nafsu-nafsu majikannya dengan kebijaksanaan - kebijaksanaan. Batara Guru berbicara dalam bahasa prosa, Semar sering menggunakan bahasa wangsalan (sastra).
Batara Guru lebih banyak marah dan mengambil keputusan tergesa-gesa, sebaliknya Semar sering menangis menyaksikan penderitaan majikannya dan sesamanya serta penuh kesabaran.
Batara Guru ditakuti dan disegani para dewa dan raja-raja, Semar hanyalah pembantu rumah tangga para kesatria. Batara Guru selalu hidup di lingkungan yang “wangi”, sedang Semar suka kentut sembarangan. Batara Guru itu pemimpin, Semar itu rakyat jelata yang paling rendah.
Seabrek paradoks masih dapat ditemukan dalam kisah-kisah wayang kulit. Pelaku kembar semesta di awal penciptaan ini, Batara Guru dan Batara Semar, siapakah yang lebih utama atau lebih “tua”? Jawabannya terdapat dalam kitab Manik-Maya (abad ke-19).
Ketika Batara Semar protes kepada Sang Hyang Wisesa, mengapa ia diciptakan dalam wujud jelek, dan berkulit hitam legam bagai kain wedelan (biru-hitam), maka Sang Hyang Wisesa (Sang Hyang Tunggal?) menjawab, bahwa warna hitam itu bermakna tidak berubah dan abadi; hitam itu untuk menyamarkan yang sejatinya “ada” itu “tidak ada”, sedangkan yang “tidak ada” diterka “bukan”, yang “bukan” diterka “ya”.
Dengan demikian Batara Semar lebih “tua” dari adiknya Batara Guru. Semar itu “kakak” dan Batara Guru itu “adik”, suatu pasangan kembar yang paradoks pula.
Semar itu lambang gelap gulita, lambang misteri, ketidaktahuan mutlak, yang dalam beberapa ajaran mistik sering disebut-sebut sebagai ketidaktahuan kita mengenai Tuhan.
Mengingat genealogi Semar yang semacam itu dalam budaya Jawa, maka tidak mengherankan bahwa tokoh Semar selalu hadir dalam setiap lakon wayang, dan merupakan tokoh wayang yang amat dicintai para penggemarnya. Meskipun dia hamba, rakyat jelata, buruk rupa, miskin, hitam legam, namun di balik wujud lahir tersebut tersimpan sifat-sifat mulia, yakni mengayomi, memecahkan masalah-masalah rumit, sabar, bijaksana, penuh humor.
Kulitnya, luarnya, kasar, sedang dalamnya halus. ** DALAM ilmu politik, Semar adalah pengejawantahan dari ungkapan Jawa tentang kekuasaan, yakni “manunggaling kawula-Gusti” (kesatuan hamba-Raja). Seorang pemimpin seharusnya menganut filsafat Semar ini.
Seorang pemimpin sebesar bangsa Indonesia ini harus memadukan antara atas dan bawah, pemimpin dan yang dipimpin, yang diberi kekuasaan dan yang menjadi sasaran kekuasaan, kepentingan hukum negara dan kepentingan objek hukum.
Hukum-hukum negara yang baik dari atas, belum tentu berakibat baik, kalau yang dari atas itu tidak disinkronkan dengan kepentingan dan kondisi rakyat. Manunggaling kawula-Gusti. Pemimpin sejati bagi rakyat itu bukan Batara Guru, tetapi Semar. Pemimpin sejati itu sebuah paradoks.
Semar adalah kakak lebih tua dari Batara Guru yang terhormat dan penuh etiket kenegaraan-kahiyangan, tetapi ia menyatu dengan rakyat yang paling papa. Dengan para dewa, Semar tidak pernah berbahasa halus, tetapi kepada majikan yang diabdinya (rakyat) ia berbahasa halus.
Semar menghormati rakyat jelata lebih dari menghormati para dewa-dewa pemimpin itu. Semar tidak pernah mengentuti rakyat, tetapi kerjanya membuang kentut ke arah para dewa yang telah salah bekerja menjalankan kewajibannya. Semar itu hakikatnya di atas, tetapi eksistensinya di bawah.
Badan halusnya, karakternya, kualitasnya adalah tingkat tinggi, tetapi perwujudannya sangat merakyat. Semar gampang menangis melihat penderitaan manusia yang diabdinya, itulah sebabnya wayang Semar matanya selalu berair. Semar lebih mampu menangisi orang lain daripada menangisi dirinya sendiri. Pemimpin Semar sudah tidak peduli dan tidak memikirkan dirinya sendiri, tetapi hanya memikirkan penderitaan orang lain. Ego Semar itu telah lenyap, digantikan oleh “yang lain”.
Semar itu seharusnya penguasa dunia atas yang paling tinggi dalam fenomena, tetapi ia memilih berada di dunia bawah yang paling bawah. Karena penguasa tertinggi, ia menguasai segalanya. Namun, ia memilih tidak kaya. Semar dan anak-anaknya itu ikut menumpang makan dalang, sehingga kalau suguhan tuan rumah kurang enak karena ada yang basi, maka Semar mencegah anak-anaknya, yang melalui dalang, mencela suguhan tuan rumah. Makanan apa pun yang datang padanya harus disyukuri sebagai anugerah. Batara Semar, di tanah Sunda, dikenal dalam wujud Batara Lengser.
Lengser, longsor, lingsir, selalu berkonotasi “turun”. Semar itu adalah pemimpin tertinggi yang turun ke lapis paling bawah. Seorang pemimpin tidak melihat yang dipimpinnya dari atas singgasananya yang terisolasi, tetapi melihat dari arah rakyat yang dipimpinnya. Seorang pemimin tidak menangisi dirinya yang dihujat rakyat, tetapi menangisi rakyat yang dihujat bawahanbawahannya. Seorang pemimpin tidak marah dimarahi rakyatnya, tetapi memarahi dirinya akibat dimarahi rakyat.
Pemimpin sejati itu, menurut filsafat Semar, adalah sebuah paradoks. Seorang pemimpin itu majikan sekaligus pelayan, kaya tetapi tidak terikat kekayaannya, tegas dalam keadilan untuk memutuskan mana yang benar dan mana yang salah namun tetap berkasih sayang. Filsafat paradoks kepemimpinan ini sebenarnya bersumber dari kitab Hastabrata atau Delapan Ajaran Dewa.
Dewa Kekayaan berseberangan dengan Desa Kedermawanan, yang bermakna seorang pemimpin harus mengusahakan dirinya (dulu, sebagai raja) agar kaya raya, tetapi kekayaan itu bukan buat dirinya, tetapi buat rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin Indonesia sekarang ini selayaknya seorang enterpreneur juga, yang lihai menggali kekayaan buat negara. Dewa Keadilan berseberangan dengan watak Dewa Kasih Sayang.
Seorang pemimpin harus membela kebenaran, keadilan, tetapi juga mempertimbangkan rasa keadilannya dengan kasih sayang untuk memelihara kehidupan.
Dewa Api (keberanian) itu berseberangan dengan Dewa Laut (air), yakni keberaniannya bertindak melindungi rakyatnya didasari oleh pertimbangan perhitungan dan kebijaksanaan yang dingin-rasional. Dewa Maut berseberangan dengan watak Dewa Angin.
Menumpas kejahatan dalam negara itu harus dipadukan dengan ketelitiannya dalam mengumpulkan detail-detail data, bagai angin yang mampu memasuki ruang mana pun.
Ajaran tua tentang kekuasaan politik bersumber dari Hastabrata tersebut, dan dimitoskan dalam diri Semar yang paradoks itu. Etika kekuasaan itu ada dalam diri tokoh Semar. Ia Dewa Tua tetapi menjadi hamba.
Ia berkuasa tetapi melayani. Ia kasar di kalangan atas, tetapi ia halus di kalangan bawah. Ia kaya raya penguasa semesta, tetapi memilih memakan nasi sisa. Ia marah kalau kalangan atas bertindak tidak adil, ia menyindir dalam bahasa metafora apabila yang dilayaninya berbuat salah. Bentuk badan Semar juga paradoks, seperti perempuan tetapi juga mirip lelaki, kombinasi ketegasan dan kelembutan
|
|
|
Post by m1ko on Jan 21, 2009 9:45:39 GMT 7
Terima kasih Pakde ,ini sudah merupakan "ngelmu tuwo" tapi masih sangat diperlukan sampai saat ini tidak saja buat yg memimpin saat ini tapi untuk kita juga. Karena kita2 ini juga pemimpin,menjadi pemimpin paling tidak memimpin di lingkungan keluarga kita.
|
|
|
Post by ∂r¹ƒ on Jan 21, 2009 9:49:56 GMT 7
new record.. postingan pakde yang terpanjang ;D ;D ;D
|
|
|
Post by riyadhzuhd on Jan 21, 2009 10:30:15 GMT 7
new record.. postingan pakde yang terpanjang ;D ;D ;D Tapi copy paste detected Rif... he..he..he.. ;d ;d ;d
|
|
|
Post by geha on Jan 21, 2009 10:30:31 GMT 7
mantep dah pakde ulasannya... bener2 menggigit... masukan yang sangat berguna menjelang pemilu 2009 ini... moga2 politikus indonesia pada ngebaca tulisannya pakde... amin...
|
|
|
Post by riyadhzuhd on Jan 21, 2009 10:52:52 GMT 7
Ok... Lanjut...
Banyak orang yang lebih menonjolkan atribut untuk menunjukkan identitas nya misalnya untuk menunjukkan Jawa nya, orang memakai belangkon, beskap, keris dan sebagainya.
Nah yang ingin saya tanyakan, perbedaan blangkon antara adat Sunda blangkon di sunda kalo nggak salah kan tanpa benjolan di belakang kepala, sedangkan balngkon Jawa lebih spesifik lagi blangkon Solo dan Jogja itu juga beda ada yang benjolnya gede ada juga yang benjolannya kecil, dan daerah-daerah lain di jawa pun memiliki perbedaan juga. Terus perbedaan naruh keris ada yang naruh di pinggang depan ada juga yang naruh di pinggang belakang mohon di jelaskan.
Terima kasih.
|
|
|
Post by pakde on Jan 21, 2009 11:18:56 GMT 7
new record.. postingan pakde yang terpanjang ;D ;D ;D Tapi copy paste detected Rif... he..he..he.. ;d ;d ;d lho kan pakde dah bilang "mengutip" artinya kan podo wae karo copy paste je ... tapi ngomong-2 filosofi jawa khususnya laki-2 katanya harus wajib memiliki pegangan yang disebut : griya (rumah), wanita (istri atau cem-2 an boleh juga), wahana atau turangga/kuda (kendaraan), curiga atau senjata (keris atau tombak) dan kukila (peliharaan/hobbi atau di sini mengarah ke perkutut). ini salah satu senjata pakde, berwujud keris luk 3. sebenarnya ada senjata satu lagi tapi kurang layak ditampilkan di sini
|
|
|
Post by riyadhzuhd on Jan 21, 2009 11:22:40 GMT 7
Eh... Iya ya... ;d jadi malu... he..he..he..
|
|
|
Post by Rines Octavianus on Jan 21, 2009 11:56:19 GMT 7
Gw cuma jadi pembaca setia nich...kalo yang pake bahasa dewa dengan sangat terpaksa di print trus tanya asisten di rumah artinya apa.........he...........he.....lanjut lagi JONG JAVA....
|
|
|
Post by dick on Jan 21, 2009 13:05:16 GMT 7
Pakde, tosan aji luk 3-nya dijelaskan donk dapur, pamor & tangguhnya... jangan2 itu punyanya mpu gandring yg dipakai sama ken arok yach
|
|
|
Post by pakde on Jan 21, 2009 20:01:53 GMT 7
Pakde, tosan aji luk 3-nya dijelaskan donk dapur, pamor & tangguhnya... jangan2 itu punyanya mpu gandring yg dipakai sama ken arok yach tosan aji pakde dapur buto rambut geni, tangguh majapahit
|
|
|
Post by h4rr1s on Jan 21, 2009 20:05:50 GMT 7
Pakde, tosan aji luk 3-nya dijelaskan donk dapur, pamor & tangguhnya... jangan2 itu punyanya mpu gandring yg dipakai sama ken arok yach tosan aji pakde dapur buto rambut geni, tangguh majapahit walau pun saya orang jawa tapi ngga ngerti keris pakde.. mungkin bisa bikin thread "KERIS" ;D ;D
|
|
|
Post by askhas on Jan 22, 2009 8:53:43 GMT 7
mantaphhh kerisnya pakde... luk 3 lagi..... nurut itungan baik ya? (bukan axis loh) di rumah ada luk 5, keris nogo kuning... ada juga nogo dino yang indah (bukan dinosius) he...he...
|
|