Post by suska on Mar 5, 2010 15:26:03 GMT 7
www.trubus-online.co.id/trindo3/index.php?option=com_content&view=article&id=4410
Ini Artikel sebelum di cetak (saya gak perhatiin yg udah di cetak, kayaknya ada beda dikit)
(tulisan dalam kurung warna merah itu catatan dari saya)
Kloset Duduk dari Bukit Barisan
Ini kisah 3 tahun silam. M Apriza Suska, Alfindra Primaldhi, dan Adrian Y.W., berselancar di dunia maya dengan bantuan situs pencari lokasi selama berhari-hari. Ketiganya bersama M Hambali dan pak Topa lalu menempuh 12 jam berkendaraan mobil dari Medan, Sumatera Utara, ke selatan. Ditambah 36 jam berjalan kaki dari kaki gunung Bukit Barisan, Sumatera Utara, menuju puncak. Perjuangan itu terbayar lunas saat Nepenthes jamban tersaji di depan mata.
(Untuk alinea pertama ini, cerita sebenarya gak gini, tapi Ok lah.)
Pantas jika nepenthes yang bentuknya seperti kloset duduk itu jadi dambaan. Ia spesies terbaru temuan Ch’ien Lee Chen, hobiis asal Amerika Serikat, 5 tahun silam. Sayang, Lee merahasiakan lokasi temuannya pada 3 pentolan di Komunitas Tanaman Karnivora Indonesia (KTKI) itu.
(sebenarnya memang kita juga gak nanya ke Ch'ien lokasinya ;D)
Menurut Suska, jamban juga istimewa karena kaya variasi warna. Ada yang merah, merah tua, kuning, hijau, dan hijau dengan peristom merah. Umumnya kantong semar lain dominan berwarna hijau kekuningan dengan peristom jingga terang.
Di dunia tercatat ada 5 nepenthes yang morfologinya mirip jamban. Mereka N. pitopangii, N. tenuis, N. inermis, N. jacquelineae, dan N. dubia. Bedanya penutup kantong dubia posisinya menjuntai berlawanan arah dengan mulut kantong. Pada jamban penutup kantong searah mulut kantong dengan panjang mencapai 4,8 cm dan lebar 0,9 cm. Sedangkan jacquelineae memiliki peristome paling lebar, mencapai 3,5 cm. Jamban hanya 8 mm.
(Untuk beda nya juga “sulit” atau terlalu banyak untuk disebutkan.)
Penjebak jangkrik
Panjang kantong atas jamban 12 cm dan lebar 5,2 cm. Kantong yang umumnya berwarna kuning terang dengan peristom kuning hingga jingga itu dapat menjebak mangsa seperti tawon dan jangkrik karena mulutnya lebar. Kantong atas jamban juga menjadi lokasi hidup bagi jentik nyamuk.
Namun, ukuran kantong bawah jamban lebih kecil ketimbang kantong atas. Maksimal tingginya 5,8 cm dan lebar 4,4 cm. Mirip dengan nepenthes pada umumnya, kantong bawah jamban memiliki 2 sayap di depan kantong dengan lebar sekitar 2 mm. Warna kantong bawah jamban lebih beragam, mulai jingga kekuningan hingga merah terang.
(Untuk ukuran, kayaknya ini berdasarkan deskripsi nya Ch'ien. Ukuran sebenarnya di alam sebenarnya lebih besar. Namun kayaknya Ch'ien bikin specimen herbarium dari contoh yg kecil (susah kali “ngurusnya”), jadinya deskripsinya jadi kecil juga.)
Menurut Alfindra kunci penemuan jamban berasal dari secuil informasi dari Ch’ien Lee: ditemukan di gunung di Sumatera Utara dengan ketinggian 1.900 m dpl. Akhirnya jamban ditemukan di salah satu gunung di Bukit Barisan tengah merambat di pohon dengan tinggi rata-rata 1 m. “Jumlahnya banyak banget,” ujar Alfindra. Perjalanan panjang Jakarta―Bukit Barisan pun tidak sia-sia.
Padahal satu hari sebelum pendakian nyali Alfin, Apriza, dan Hambali sempat ciut lantaran gunung tersebut terkenal angker. “Hanya ada 1 orang kampung yang pernah mendaki hingga puncak. Ia sering bolak-balik ke sana membawa kepala kerbau sebagai persembahan,” kata Suska. Lokasi tersebut juga seram karena habitat asli Panthera tigris sumatrensis. Kendala lain hujan deras yang turun di sore hari menyebabkan jalanan licin.
Vegetasi puncak
Menurut Suska rombongan karena menemukan N reinwardtiana di ketinggian 1.600 m dpl. Seratus meter kemudian giliran N. dubia yang tumbuh memanjat di pohon. Jamban ditemukan setelah perjalanan 2 hari 1 malam. Ia tumbuh bersama nepenthes jenis baru yang belum dipublikasikan namanya. Sosok mirip dengan N. argentii. Bedanya jenis baru itu berpinggang dan tutup kantong bergelombang. Ia juga beda dengan nepenthes lain asal Sumatera lantaran daun berbulu dan mudah robek. Batangnya juga mudah patah.
Bukti Bukit Barisan habitat asli jamban ditegaskan kembali oleh Adrian Yusuf Wartono, pemerhati nepenthes dari Kudus, Jawa Tengah, yang menjumpai jamban di lokasi lain di Bukit Barisan, Sumatera Utara, dua tahun berselang. Namun, di lokasi ini, periuk berbentuk kloset duduk itu tumbuh di ketinggian 1.600 m dpl. “Jadi sebenarnya bukan ketinggian yang menentukan penemuan jamban melainkan kondisi habitat,” jelas Suska. Jamban tumbuh di vegetasi puncak. Cirinya, rata-rata tinggi pohon hanya 1—2 m. Selain itu, puncak gunung juga selalu berawan.
Hal itu dibuktikan Suska dengan mengunjungi gunung Siabu-abu di Bukit Barisan, Sumatera Utara, yang berketinggian 2.300 m dpl pada akhir 2009. Di sana tak satu pun jamban yang ditemukan hingga ke puncak. “Setelah diperhatikan, vegetasi di puncak gunung tersebut ditumbuhi pohon yang tingginya di atas 5 m,” tambah pemilik “Suska Nursery” itu.
Menurut Alfin populasi jamban di habitat masih banyak lantaran lokasinya jarang dikunjungi. Toh, tetap perlu perlindungan untuk menghindari eksploitasi berlebihan yang berujung kepunahan. Beruntung beberapa nurseri besar di mancanegara mulai memperbanyak kobe-kobe itu dengan kultur jaringan. Sebut saja Borneo Excotic di Sri Lanka. Dengan perbanyakan massal, diharapkan bisa mengurangi perburuan di alam. Itu supaya jamban lestari di habitat aslinya di Bukit Barisan, Sumatera Utara. (Rosy Nur Apriyanti)
ma_suska
Ini Artikel sebelum di cetak (saya gak perhatiin yg udah di cetak, kayaknya ada beda dikit)
(tulisan dalam kurung warna merah itu catatan dari saya)
Kloset Duduk dari Bukit Barisan
Ini kisah 3 tahun silam. M Apriza Suska, Alfindra Primaldhi, dan Adrian Y.W., berselancar di dunia maya dengan bantuan situs pencari lokasi selama berhari-hari. Ketiganya bersama M Hambali dan pak Topa lalu menempuh 12 jam berkendaraan mobil dari Medan, Sumatera Utara, ke selatan. Ditambah 36 jam berjalan kaki dari kaki gunung Bukit Barisan, Sumatera Utara, menuju puncak. Perjuangan itu terbayar lunas saat Nepenthes jamban tersaji di depan mata.
(Untuk alinea pertama ini, cerita sebenarya gak gini, tapi Ok lah.)
Pantas jika nepenthes yang bentuknya seperti kloset duduk itu jadi dambaan. Ia spesies terbaru temuan Ch’ien Lee Chen, hobiis asal Amerika Serikat, 5 tahun silam. Sayang, Lee merahasiakan lokasi temuannya pada 3 pentolan di Komunitas Tanaman Karnivora Indonesia (KTKI) itu.
(sebenarnya memang kita juga gak nanya ke Ch'ien lokasinya ;D)
Menurut Suska, jamban juga istimewa karena kaya variasi warna. Ada yang merah, merah tua, kuning, hijau, dan hijau dengan peristom merah. Umumnya kantong semar lain dominan berwarna hijau kekuningan dengan peristom jingga terang.
Di dunia tercatat ada 5 nepenthes yang morfologinya mirip jamban. Mereka N. pitopangii, N. tenuis, N. inermis, N. jacquelineae, dan N. dubia. Bedanya penutup kantong dubia posisinya menjuntai berlawanan arah dengan mulut kantong. Pada jamban penutup kantong searah mulut kantong dengan panjang mencapai 4,8 cm dan lebar 0,9 cm. Sedangkan jacquelineae memiliki peristome paling lebar, mencapai 3,5 cm. Jamban hanya 8 mm.
(Untuk beda nya juga “sulit” atau terlalu banyak untuk disebutkan.)
Penjebak jangkrik
Panjang kantong atas jamban 12 cm dan lebar 5,2 cm. Kantong yang umumnya berwarna kuning terang dengan peristom kuning hingga jingga itu dapat menjebak mangsa seperti tawon dan jangkrik karena mulutnya lebar. Kantong atas jamban juga menjadi lokasi hidup bagi jentik nyamuk.
Namun, ukuran kantong bawah jamban lebih kecil ketimbang kantong atas. Maksimal tingginya 5,8 cm dan lebar 4,4 cm. Mirip dengan nepenthes pada umumnya, kantong bawah jamban memiliki 2 sayap di depan kantong dengan lebar sekitar 2 mm. Warna kantong bawah jamban lebih beragam, mulai jingga kekuningan hingga merah terang.
(Untuk ukuran, kayaknya ini berdasarkan deskripsi nya Ch'ien. Ukuran sebenarnya di alam sebenarnya lebih besar. Namun kayaknya Ch'ien bikin specimen herbarium dari contoh yg kecil (susah kali “ngurusnya”), jadinya deskripsinya jadi kecil juga.)
Menurut Alfindra kunci penemuan jamban berasal dari secuil informasi dari Ch’ien Lee: ditemukan di gunung di Sumatera Utara dengan ketinggian 1.900 m dpl. Akhirnya jamban ditemukan di salah satu gunung di Bukit Barisan tengah merambat di pohon dengan tinggi rata-rata 1 m. “Jumlahnya banyak banget,” ujar Alfindra. Perjalanan panjang Jakarta―Bukit Barisan pun tidak sia-sia.
Padahal satu hari sebelum pendakian nyali Alfin, Apriza, dan Hambali sempat ciut lantaran gunung tersebut terkenal angker. “Hanya ada 1 orang kampung yang pernah mendaki hingga puncak. Ia sering bolak-balik ke sana membawa kepala kerbau sebagai persembahan,” kata Suska. Lokasi tersebut juga seram karena habitat asli Panthera tigris sumatrensis. Kendala lain hujan deras yang turun di sore hari menyebabkan jalanan licin.
Vegetasi puncak
Menurut Suska rombongan karena menemukan N reinwardtiana di ketinggian 1.600 m dpl. Seratus meter kemudian giliran N. dubia yang tumbuh memanjat di pohon. Jamban ditemukan setelah perjalanan 2 hari 1 malam. Ia tumbuh bersama nepenthes jenis baru yang belum dipublikasikan namanya. Sosok mirip dengan N. argentii. Bedanya jenis baru itu berpinggang dan tutup kantong bergelombang. Ia juga beda dengan nepenthes lain asal Sumatera lantaran daun berbulu dan mudah robek. Batangnya juga mudah patah.
Bukti Bukit Barisan habitat asli jamban ditegaskan kembali oleh Adrian Yusuf Wartono, pemerhati nepenthes dari Kudus, Jawa Tengah, yang menjumpai jamban di lokasi lain di Bukit Barisan, Sumatera Utara, dua tahun berselang. Namun, di lokasi ini, periuk berbentuk kloset duduk itu tumbuh di ketinggian 1.600 m dpl. “Jadi sebenarnya bukan ketinggian yang menentukan penemuan jamban melainkan kondisi habitat,” jelas Suska. Jamban tumbuh di vegetasi puncak. Cirinya, rata-rata tinggi pohon hanya 1—2 m. Selain itu, puncak gunung juga selalu berawan.
Hal itu dibuktikan Suska dengan mengunjungi gunung Siabu-abu di Bukit Barisan, Sumatera Utara, yang berketinggian 2.300 m dpl pada akhir 2009. Di sana tak satu pun jamban yang ditemukan hingga ke puncak. “Setelah diperhatikan, vegetasi di puncak gunung tersebut ditumbuhi pohon yang tingginya di atas 5 m,” tambah pemilik “Suska Nursery” itu.
Menurut Alfin populasi jamban di habitat masih banyak lantaran lokasinya jarang dikunjungi. Toh, tetap perlu perlindungan untuk menghindari eksploitasi berlebihan yang berujung kepunahan. Beruntung beberapa nurseri besar di mancanegara mulai memperbanyak kobe-kobe itu dengan kultur jaringan. Sebut saja Borneo Excotic di Sri Lanka. Dengan perbanyakan massal, diharapkan bisa mengurangi perburuan di alam. Itu supaya jamban lestari di habitat aslinya di Bukit Barisan, Sumatera Utara. (Rosy Nur Apriyanti)
ma_suska