Post by rajah on Apr 9, 2008 16:39:15 GMT 7
Apa aja tanaman yang mantep buat dibikin lalap (Sunda: lalab)? Ayo kita sharing... ;D
dari id.wikipedia.org/wiki/Lalap
Lalap adalah sayur-sayuran yang biasa disajikan beserta masakan Indonesia. Lalap menyerupai salad, yang banyak dijumpai di makanan barat, walau begitu khas bagi lalap adalah bahwa sayur-sayur lalap tidak dimakan bersama saus (dressing) atau bumbu-bumbu. Lalap biasa dimakan bersama nasi dan lauk-pauk lainnya (ayam goreng, ikan goreng, sambal, dan sebagainya). Sayur-sayuran yang biasa digunakan antara lain selada, kacang panjang, timun, tomat, daun pepaya, daun singkong dan kemangi. Sayur-sayuran ini biasanya dihidangkan dalam keadaan mentah atau untuk sayur-sayuran seperti daun singkong dan daun pepaya sebelumnya direbus terlebih dahulu. Karena terdiri dari banyak sayuran yang belum dimasak, lalap banyak mengandung serat yang baik bagi pencernaan.
dari www.situshijau.co.id/tulisan.php?act=detail&id=210&id_kolom=1
KEHIDUPAN sehari-hari orang Sunda nyaris tak terpisahkan dari lalab (lalap). Akibatnya, ada pemeo, tak sulit memberi makan orang Sunda, lepas saja mereka di hutan atau di ladang, cukup dibekali sebungkus nasi timbel dan sambal. Ya, alasannya untuk lauknya telah tersedia daun-daunan yang dapat dijadikan kawan nasi.
Hamparan bumi Jawa Barat memang kaya raya oleh aneka jenis tanaman lalap. Mulai dari puncak gunug ke pedataran ladang dan bentangan pesawahan, ratusan atau mungkin ribuan macam tumbuhan yang daun, buah, atau bijinya dapat dijadikan lalap. Di hutan-hutan misalnya, terdapat tanaman bunut, koang, kosambi, putat, reundeu, kihapit, mareme, pongporang, dan takokak.
Di ladang-ladang, terdapat jonge, jotang, kasingsat, kahitutan, senggang, sintrong, dan lain-lain. Di persawahan terdapat antanan, eceng, genjer, solod soya, gelang, saladah, dan sebagainya. Itu yang tumbuh liar. Tanpa ditanam dan yang sengaja ditanam, banyak pula jenis, bentuk, dan rasanya. Seperti hiris, jaat, katuk, leunca, roay, terong, dan paria.
"Jika dijaga dan dipelihara, pokoknya kita tidak akan kehabisan sumber vitamin dan protein nabati," kata sejumlah orang penduduk pedesaan, yang mengaku doyan makan lalap. Mereka menyayangkan, sejak empat dasa warsa terakhir, para petani sudah dibiasakan menggunakan insektisida, pestisida, serta bahan-bahan mengandung zat kimia lainnya dalam kegiatan bercocoktanam. Akibatnya, banyak tanaman lalap di sekitar sawah dan ladang terkena limbah beracun, berbahaya untuk dimakan. "Belum lagi penggundulan hutan yang merusak lingkungan. Tanaman lalap hutan juga ikut terganggu."
Pengamanan
Berkaitan dengan tanaman lalap khas hutan inilah, Perhutani Unit III Jabar-Banten mencoba mengembangkan lalap pohpohan sebagai bahan garapan Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Keberadaan pohpohan yang nyaris terlupakan, dibangkitkan kembali melalui usaha para petani yang tergabung dalam kelompok tani hutan (KTH).
"Untuk sementara, sentra budi daya pohpohan baru dibentuk di Desa Tamansari Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor. Tepatnya oleh masyarakat petani hutan di kaki G. Salak," kata Kepala Perhutani Unit III Jabar-Banten, Ir. H. Momo Nurdiana, didampingi Kasi Humas H. Dahlan Sudrajat, S.H.
Menurut Momo, para petani KTH Mekarsari Desa Tamansari tersebut beranggotakan 85 orang. Mengolah 40 ha lahan di bawah tegakan tanaman damar dan pinus di kawasan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor.
"Insya Allah, di kawasan hutan lainnya di seluruh Jabar dan Banten, budi daya lalap pohpohan dan aneka lalap hutan lainnya akan dikembangkan. Selain mendatangkan hasil bagi petani setempat, juga bermanfaat bagi pengamanan hutan dari penjarahan," Momo menambahkan.
Sementara itu, Ketua KTH Mekarsari, Wardi, menerangkan, pohpohan dipilih sebagai tanaman utama para petani anggota KTH karena dapat menghasilkan dalam waktu relatif singkat. Selain itu, pohpohan mudah perawatan dan pemasarannya.
"Dari mulai tanam hingga panen, hanya membutuhkan waktu tiga bulan. Bibitnya pun cukup satu kali tanam sebab setelah dipanen, akan tumbuh dan bertunas terus. Pohponan juga ramah lingkungan, tidak membutuhkan pupuk kimia, cukup dengan pupuk kandang saja," Wardi menjelaskan.
Bagi masyarakat sekitar G. Salak, pohpohan sudah dikenal sejak zaman dulu. Sejak zaman nenek moyang, sejak buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg, hingga kakait siwur. Maklum, sebagai orang Sunda yang hidup di pegunungan, lebih mudah mendapatkan sayur daripada daging. Pohpohan termasuk yang mudah didapat itu.
"Akan tetapi, pohpohan dulu tumbuh liar, tidak pernah dibudidayakan dan diperjualbelikan. Siapa yang ingin, tinggal petik. Tapi sejak tahun 1991, para petani mulai mencoba memeliharanya dalam pola tanam tumpangsari. Ternyata bagus, tumbuh subur, dan ketika ditawarkan ke pasar, laku keras. Oleh karena itu, sekarang dimasukkan saja ke pola PHBM yang diikuti para petani. Cara menanamnya mudah sekali, tinggal menancapkan ke tanah yang sudah dicangkul, diberi pupuk kandang sekali sebulan, nah sudah itu tinggal menuggu panen," tutur Wardi, yang menambahkan, dari areal satu hektare, mendapat 10.000 ikat pohpohan yang dibeli oleh para bandar sayur-mayur langsung dijual ditempat, Rp 80,00 per ikat.
"Tanpa mengeluarkan ongkos angkut atau biaya kirim karena para bandar datang sendiri. Alhamdulillah, dengan budi daya pohpohan, penghasilan para petani KTH Desa Tamansari meningkat rata-rata Rp 500.000,00 per bulan."
Bahkan, Kepala Desa Tamansari, A. Mahmud, menyatakan, sudah ada pengusaha dari Jepang yang membutuhkan pohpohan untuk diolah di negerinya. "Siapa tahu kelak pohpohan dari desa kami akan menjadi komoditas penting bernilai ekspor. Kesejahteraan sosial ekonomi penduduk tentu akan lebih meningkat lagi. Mohon doa restu saja," kata Mahmud.
Kaitan budi daya pohpohan dengan keamanan hutan G. Salak ditunjukkan oleh Slamet Riyadi Toyanegara, Ajun Administratur/Kepala Seksi KPH Bogor. Karena penduduk sekitar hutan berhasil memanfaatkan lahan hutan untuk budi daya pohpohan dan sudah terasa hasilnya menguntungkan, mereka akan selalu siaga mengamankan hutan dari gangguan para perusak dan penjarah.
"Tanaman pohpohan tidak akan tumbuh subur di lingkungan hutan yang rusak. Maka untuk menjaga stabilitas kesuburan pohpohan, para petani KTH siap pula menjaga stabilitas kelestarian hutan. Tidak mengherankan jika KPH Bogor merupakan yang teraman dari 14 KPH yang ada di Jawa Barat dan Banten. Ya, salah satunya berkat budi daya pohpohan," demikian Slamet Riyadi.
Cerah
Mengingat sekarang banyak rumah makan atau restoran memakai label "Khas Sunda", prospek penanaman dan pemasaran aneka jenis lalap tentu sangat cerah sebab tak mungkin rumah makan/restoran khas Sunda tidak menyajikan lalap berikut segala "aksesoris"-nya berupa jenis-jenis sambal. Sementara itu, bumbu sambal sendiri, mau tidak mau, harus melibatkan jenis lalap pula, seperti surawung (kemanggi) atau kemir (tomat hijau).
Antara lalap dan sambal, dalam khasanah tataboga masyarakat Sunda, sudah punya pasangan masing-masing. Lalap pohpohan beserta kawan-kawannya sesama lalap asal pegunungan dan hutan, sangat cocok dipadukan dengan sambal terasi, sedangkan lalap ladang punya pasangan serasi sambal wijen atau sambal suuk (kacang tanah). Lalap sawah, termasuk saladah dan tespong, padanannya adalah sambal oncom.
"Sekarang muncul 'sambel Cibiuk', yang punya tampilan dan rasa tersendiri. Cocok untuk di-coel oleh semua jenis lalap," komentar seorang penduduk desa di Kab. Garut yang mengaku sangat menyukai lalap dan sambal sehingga merasa tak berselera makan jika tidak ada lalap dan sambal terhidang di depannya.
Akan tetapi, bagaimana pun, pendapat seorang ahli ekologi, lalap adalah sumber kekayaan alam yang tak boleh diremehkan. Lalap sebagai sumber gizi, vitamin, dan protein sebagai sumber mata pencaharian dan peningkatan ekonomi masyarakat harus dimuliakan, dalam arti dipelihara, dijaga, dan dipertahankan kelestariannya. Ia memuji upaya Perhutani Unit III Jabar-Banten yang telah memilih pohpohan sebagai komoditas penyangga keamanan hutan.
"Jika pohpohan sukses dikembangkan hingga menjadi komoditas ekspor, jenis lalap "liar" lainnya pun tentu dapat dikembangkan hingga mencapai taraf yang sama," kata pakar tersebut. Ia pun optimistis budi daya tanaman lalap tradisional jika digarap sungguh-sungguh akan memberi kontribusi terhadap masyarakat luas dalam mengatasi krisis ekonomi berkepanjangan
dari id.wikipedia.org/wiki/Lalap
Lalap adalah sayur-sayuran yang biasa disajikan beserta masakan Indonesia. Lalap menyerupai salad, yang banyak dijumpai di makanan barat, walau begitu khas bagi lalap adalah bahwa sayur-sayur lalap tidak dimakan bersama saus (dressing) atau bumbu-bumbu. Lalap biasa dimakan bersama nasi dan lauk-pauk lainnya (ayam goreng, ikan goreng, sambal, dan sebagainya). Sayur-sayuran yang biasa digunakan antara lain selada, kacang panjang, timun, tomat, daun pepaya, daun singkong dan kemangi. Sayur-sayuran ini biasanya dihidangkan dalam keadaan mentah atau untuk sayur-sayuran seperti daun singkong dan daun pepaya sebelumnya direbus terlebih dahulu. Karena terdiri dari banyak sayuran yang belum dimasak, lalap banyak mengandung serat yang baik bagi pencernaan.
dari www.situshijau.co.id/tulisan.php?act=detail&id=210&id_kolom=1
KEHIDUPAN sehari-hari orang Sunda nyaris tak terpisahkan dari lalab (lalap). Akibatnya, ada pemeo, tak sulit memberi makan orang Sunda, lepas saja mereka di hutan atau di ladang, cukup dibekali sebungkus nasi timbel dan sambal. Ya, alasannya untuk lauknya telah tersedia daun-daunan yang dapat dijadikan kawan nasi.
Hamparan bumi Jawa Barat memang kaya raya oleh aneka jenis tanaman lalap. Mulai dari puncak gunug ke pedataran ladang dan bentangan pesawahan, ratusan atau mungkin ribuan macam tumbuhan yang daun, buah, atau bijinya dapat dijadikan lalap. Di hutan-hutan misalnya, terdapat tanaman bunut, koang, kosambi, putat, reundeu, kihapit, mareme, pongporang, dan takokak.
Di ladang-ladang, terdapat jonge, jotang, kasingsat, kahitutan, senggang, sintrong, dan lain-lain. Di persawahan terdapat antanan, eceng, genjer, solod soya, gelang, saladah, dan sebagainya. Itu yang tumbuh liar. Tanpa ditanam dan yang sengaja ditanam, banyak pula jenis, bentuk, dan rasanya. Seperti hiris, jaat, katuk, leunca, roay, terong, dan paria.
"Jika dijaga dan dipelihara, pokoknya kita tidak akan kehabisan sumber vitamin dan protein nabati," kata sejumlah orang penduduk pedesaan, yang mengaku doyan makan lalap. Mereka menyayangkan, sejak empat dasa warsa terakhir, para petani sudah dibiasakan menggunakan insektisida, pestisida, serta bahan-bahan mengandung zat kimia lainnya dalam kegiatan bercocoktanam. Akibatnya, banyak tanaman lalap di sekitar sawah dan ladang terkena limbah beracun, berbahaya untuk dimakan. "Belum lagi penggundulan hutan yang merusak lingkungan. Tanaman lalap hutan juga ikut terganggu."
Pengamanan
Berkaitan dengan tanaman lalap khas hutan inilah, Perhutani Unit III Jabar-Banten mencoba mengembangkan lalap pohpohan sebagai bahan garapan Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Keberadaan pohpohan yang nyaris terlupakan, dibangkitkan kembali melalui usaha para petani yang tergabung dalam kelompok tani hutan (KTH).
"Untuk sementara, sentra budi daya pohpohan baru dibentuk di Desa Tamansari Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor. Tepatnya oleh masyarakat petani hutan di kaki G. Salak," kata Kepala Perhutani Unit III Jabar-Banten, Ir. H. Momo Nurdiana, didampingi Kasi Humas H. Dahlan Sudrajat, S.H.
Menurut Momo, para petani KTH Mekarsari Desa Tamansari tersebut beranggotakan 85 orang. Mengolah 40 ha lahan di bawah tegakan tanaman damar dan pinus di kawasan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor.
"Insya Allah, di kawasan hutan lainnya di seluruh Jabar dan Banten, budi daya lalap pohpohan dan aneka lalap hutan lainnya akan dikembangkan. Selain mendatangkan hasil bagi petani setempat, juga bermanfaat bagi pengamanan hutan dari penjarahan," Momo menambahkan.
Sementara itu, Ketua KTH Mekarsari, Wardi, menerangkan, pohpohan dipilih sebagai tanaman utama para petani anggota KTH karena dapat menghasilkan dalam waktu relatif singkat. Selain itu, pohpohan mudah perawatan dan pemasarannya.
"Dari mulai tanam hingga panen, hanya membutuhkan waktu tiga bulan. Bibitnya pun cukup satu kali tanam sebab setelah dipanen, akan tumbuh dan bertunas terus. Pohponan juga ramah lingkungan, tidak membutuhkan pupuk kimia, cukup dengan pupuk kandang saja," Wardi menjelaskan.
Bagi masyarakat sekitar G. Salak, pohpohan sudah dikenal sejak zaman dulu. Sejak zaman nenek moyang, sejak buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg, hingga kakait siwur. Maklum, sebagai orang Sunda yang hidup di pegunungan, lebih mudah mendapatkan sayur daripada daging. Pohpohan termasuk yang mudah didapat itu.
"Akan tetapi, pohpohan dulu tumbuh liar, tidak pernah dibudidayakan dan diperjualbelikan. Siapa yang ingin, tinggal petik. Tapi sejak tahun 1991, para petani mulai mencoba memeliharanya dalam pola tanam tumpangsari. Ternyata bagus, tumbuh subur, dan ketika ditawarkan ke pasar, laku keras. Oleh karena itu, sekarang dimasukkan saja ke pola PHBM yang diikuti para petani. Cara menanamnya mudah sekali, tinggal menancapkan ke tanah yang sudah dicangkul, diberi pupuk kandang sekali sebulan, nah sudah itu tinggal menuggu panen," tutur Wardi, yang menambahkan, dari areal satu hektare, mendapat 10.000 ikat pohpohan yang dibeli oleh para bandar sayur-mayur langsung dijual ditempat, Rp 80,00 per ikat.
"Tanpa mengeluarkan ongkos angkut atau biaya kirim karena para bandar datang sendiri. Alhamdulillah, dengan budi daya pohpohan, penghasilan para petani KTH Desa Tamansari meningkat rata-rata Rp 500.000,00 per bulan."
Bahkan, Kepala Desa Tamansari, A. Mahmud, menyatakan, sudah ada pengusaha dari Jepang yang membutuhkan pohpohan untuk diolah di negerinya. "Siapa tahu kelak pohpohan dari desa kami akan menjadi komoditas penting bernilai ekspor. Kesejahteraan sosial ekonomi penduduk tentu akan lebih meningkat lagi. Mohon doa restu saja," kata Mahmud.
Kaitan budi daya pohpohan dengan keamanan hutan G. Salak ditunjukkan oleh Slamet Riyadi Toyanegara, Ajun Administratur/Kepala Seksi KPH Bogor. Karena penduduk sekitar hutan berhasil memanfaatkan lahan hutan untuk budi daya pohpohan dan sudah terasa hasilnya menguntungkan, mereka akan selalu siaga mengamankan hutan dari gangguan para perusak dan penjarah.
"Tanaman pohpohan tidak akan tumbuh subur di lingkungan hutan yang rusak. Maka untuk menjaga stabilitas kesuburan pohpohan, para petani KTH siap pula menjaga stabilitas kelestarian hutan. Tidak mengherankan jika KPH Bogor merupakan yang teraman dari 14 KPH yang ada di Jawa Barat dan Banten. Ya, salah satunya berkat budi daya pohpohan," demikian Slamet Riyadi.
Cerah
Mengingat sekarang banyak rumah makan atau restoran memakai label "Khas Sunda", prospek penanaman dan pemasaran aneka jenis lalap tentu sangat cerah sebab tak mungkin rumah makan/restoran khas Sunda tidak menyajikan lalap berikut segala "aksesoris"-nya berupa jenis-jenis sambal. Sementara itu, bumbu sambal sendiri, mau tidak mau, harus melibatkan jenis lalap pula, seperti surawung (kemanggi) atau kemir (tomat hijau).
Antara lalap dan sambal, dalam khasanah tataboga masyarakat Sunda, sudah punya pasangan masing-masing. Lalap pohpohan beserta kawan-kawannya sesama lalap asal pegunungan dan hutan, sangat cocok dipadukan dengan sambal terasi, sedangkan lalap ladang punya pasangan serasi sambal wijen atau sambal suuk (kacang tanah). Lalap sawah, termasuk saladah dan tespong, padanannya adalah sambal oncom.
"Sekarang muncul 'sambel Cibiuk', yang punya tampilan dan rasa tersendiri. Cocok untuk di-coel oleh semua jenis lalap," komentar seorang penduduk desa di Kab. Garut yang mengaku sangat menyukai lalap dan sambal sehingga merasa tak berselera makan jika tidak ada lalap dan sambal terhidang di depannya.
Akan tetapi, bagaimana pun, pendapat seorang ahli ekologi, lalap adalah sumber kekayaan alam yang tak boleh diremehkan. Lalap sebagai sumber gizi, vitamin, dan protein sebagai sumber mata pencaharian dan peningkatan ekonomi masyarakat harus dimuliakan, dalam arti dipelihara, dijaga, dan dipertahankan kelestariannya. Ia memuji upaya Perhutani Unit III Jabar-Banten yang telah memilih pohpohan sebagai komoditas penyangga keamanan hutan.
"Jika pohpohan sukses dikembangkan hingga menjadi komoditas ekspor, jenis lalap "liar" lainnya pun tentu dapat dikembangkan hingga mencapai taraf yang sama," kata pakar tersebut. Ia pun optimistis budi daya tanaman lalap tradisional jika digarap sungguh-sungguh akan memberi kontribusi terhadap masyarakat luas dalam mengatasi krisis ekonomi berkepanjangan